PEMBERONTAKAN SHIMABARA

Pemberontakan Shimabara (Shimabara no ran) adalah pemberontakan bersenjata pada awal zaman Edo yang melibatkan kaum petani, orang Kristen dan ronin di wilayah Semenanjung Shimabara, Provinsi Hizen, Jepang. Pemberontakan berlangsung dari tahun 1637 hingga awal 1638, dan merupakan pemberontakan besar pertama sejak penyatuan Jepang oleh klan Tokugawa. Dua alasan yang melatarbelakanginya adalah beban pajak yang berlebihan dan penindasan terhadap orang Kristen setempat.

Latar belakang

Shimabara pada zaman Sengoku adalah wilayah kekuasaan klan Arima yang beragama Kristen dan sebagian besar penduduk telah memeluk agama baru yang disebarkan oleh kaum misionaris Spanyol. Tahun 1615, Shogun Tokugawa Ieyasu mengalahkan klan Toyotomi yang menjadi pesaing terakhirnya dalam Pertempuran Osaka. Akibatnya klan Arima yang memihak Toyotomi kehilangan wilayah kekuasaannya dan mereka  beralih memihak Matsukura Shigemasa. Pada awalnya Shigemasa bersikap lunak pada orang-orang Kristen di sana, tetapi ia mulai menindas mereka untuk meyakinkan kesetiaannya pada shogun.
Untuk mencari muka pada shogun, Shigemasa mengajukan proposal yang berisi rencana yang sangat ambisius yaitu penyerbuan ke Pulau Luzon, Filipina, yang menjadi basis bangsa Spanyol untuk menyebarkan agama Kristen ke Jepang. Setelah proposal itu mendapat persetujuan, ia segera melakukan persiapan dengan meminjam modal dari para pedagang di Sakai, Hirato, dan Nagasaki untuk membiayai perang. Selain itu, untuk kebijakan domestiknya ia membangun kastil dan proyek-proyek konstruksi lain yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Rakyat sangat menderita karena beban pajak yang tinggi yang diterapkan Shigemasa. Tak lama kemudian Shogun Tokugawa Iemitsu membatalkan rencana penyerangan Luzon dengan pertimbangan belum siap dan situasi di dalam negeri belum sepenuhnya stabil.
Shigemasa meninggal tahun 1630 dan digantikan oleh putranya, Matsukura Katsuie yang mewarisi utang ayahnya. Untuk itu ia menaikkan pajak dan bertindak lebih kejam dari ayahnya kepada mereka yang tidak mampu membayar. Banyak petani miskin yang tewas karena siksaan akibat tidak bisa membayar pajak. Penindasan terhadap orang Kristen pun semakin menjadi-jadi. Di wilayah Karatsu yang tidak jauh dari sana, rakyat juga mengalami nasib serupa ditindas oleh klan Terazawa. Dalam kondisi tertekan, tersebar desas-desus di kalangan rakyat yang mengatakan bahwa akan muncul seorang juru selamat yang membebaskan mereka dari penderitaan. Para ronin bekas pengikut daimyo yang menguasai wilayah itu berkumpul dan merencanakan pemberontakan terhadap rezim baru yang tiran itu.

Pemberontakan

Pada musim gugur 1637, 16 orang petani ditangkap dan dijatuhi hukuman mati karena berdoa pada Tuhan Yesus. Hal ini membangkitkan kemarahan rakyat, mereka menyerang dan membunuh petugas pajak Hayashi Hyozaemon. Huru-hara itu menyebar dengan cepat ke wilayah sekitarnya, para pemberontak menyerang kantor-kantor pemerintah dan kuil Buddha, mereka juga membunuhi para pejabat, biksu dan biksuni. Kepala-kepala korban dari pemberontakan ini diarak menuju Kastil Shimabara milik Matsukura Katsuie. Para pemberontak mengangkat Amakusa Shiro, putra Masuda Jinbei (mantan pengikut daimyo Konishi Yukinaga), yang masih berusia remaja, sebagai pemimpin mereka.
Di Karatsu, rakyat ikut mengangkat senjata dan mengepung dua kastil milik klan Terazawa yaitu Kastil Hondo dan Kastil Tomioka. Ketika kedua kastil tersebut sudah dalam kondisi kritis, pasukan pemerintah yang didatangkan dari wilayah lain di Pulau Kyushu tiba dan berhasil memukul mundur kaum pemberontak. Pengepungan yang dipimpin Amakusa Shiro terhadap Kastil Shimabara juga berhasil dipatahkan. Mereka mundur dan mengkonsolidasi kekuatan di reruntuhan Kastil Hara yang adalah bekas kastil klan Arima ketika masih berkuasa. Hingga 3 Desember 1637, jumlah pemberontak yang berkumpul di Kastil Hara sudah mencapai 35.000 orang, mereka meliputi para ronin, petani pemberontak, serta rakyat sipil termasuk wanita, anak-anak, dan orang tua. Di sana mereka membangun pertahanan yang kokoh. Persenjataan, amunisi, dan persediaan makanan pun sudah cukup memadai, sebagian besar diperoleh dari hasil jarahan di gudang-gudang milik Matsukura.
Pada tanggal 27 Desember 1637, para pemberontak mengalahkan gubernur Nagasaki, Terazawa Katataka. Dari 3000 pasukan yang dibawa Katataka hanya tersisa sejumlah 200 orang termasuk dirinya. Ia mundur dan meminta bantuan pada pemerintah pusat untuk menumpas pemberontak. Pada 3 Januari 1638, pasukan pemerintah di bawah pimpinan Itakura Shigemasa, dengan kekuatan lebih dari 30.000 prajurit, tiba di Shimabara dan berhasil mengalahkan para pemberontak dalam sebuah pertempuran. Pasukan pemerintah terus mengejar dan mengepung mereka di jantung kekuatan mereka, Kastil Hara. Pertahanan kastil itu terbukti sangat sulit ditembus, serangan pertama menjatuhkan banyak korban di pihak pemerintah termasuk Shigemasa sendiri.
Shogun menyadari situasi di Shimabara semakin serius, maka ia kembali mengirim 120.000 pasukan dilengkapi senapan arquebus dan meriam untuk memperkuat pasukan di sana. Matsuidara Nobutsuna, pengganti Shigemasa, frustasi karena belum juga bisa mengalahkan pemberontak sehingga ia meminta bantuan dari kapal dagang Belanda untuk membombardir Kastil Hara dari laut. Nicolas Koekebakker, kepala pos perdagangan Belanda di Hirado memberi bantuan berupa mesiu dan meriam sesuai permintaan pemerintah Jepang. Karena masih belum merasa cukup, pemerintah meminta bantuan lagi berupa kapal. Koekebakker sekali lagi menyanggupinya, bahkan ia memimpin sendiri kapal de Ryp ke lepas pantai dekat Kastil Hara. Kastil itu dibombardir dari darat dan laut, namun tidak terlalu memberikan hasil berarti karena posisi yang strategis dan kokohnya pertahanan kastil itu, bahkan dua pengintai Belanda tertembak oleh pemberontak.
Para pemberontak mengolok-olok pemerintah, mengatakan bahwa apakah pasukan pemerintah sudah tidak memiliki orang yang mampu sampai harus meminta bantuan bangsa asing hanya untuk menghadapi lawan yang lebih kecil. Maka agar tidak kehilangan muka, pemerintah meminta kapal Belanda itu ditarik mundur dan tetap melanjutkan pengepungan tanpa bantuan asing. Selanjutnya pemerintah mengirim beberapa ninja untuk menyusup ke kastil dengan misi pengintaian dan pembunuhan pemimpin pemberontak, namun tidak ada yang berhasil. Penyamaran mereka terbongkar akibat tidak bisa berbicara dialek lokal ataupun tidak mengerti tata-cara Kristen sehingga yang tidak bisa lolos hanya kembali sebagai mayat.

Akhir pemberontakan

Pada 3 Februari 1638, kubu pemberontak berhasil meraih kemenangan kecil dengan mengalahkan pasukan dari Hizen berkekuatan 2000 prajurit dan membunuh pemimpin mereka. Namun memasuki pertengahan Februari 1638, kaum pemberontak sudah mulai memasuki masa-masa sulit karena makanan dan amunisi semakin menipis, ditambah lagi cuaca musim dingin yang tidak bersahabat. Korban di kedua belah pihak semakin bertambah dari hari ke hari. Beberapa pemberontak yang nekad menyusup ke kemah pasukan pemerintah untuk mencuri makanan tertangkap dan dihukum mati. Matsuidara memerintahkan agar mayat mereka diautopsi untuk memeriksa apa yang mereka makan selama ini. Setelah perut mereka dibelah hanya ditemukan rumput dan dedaunan. Matsuidara merasa telah tiba saatnya untuk melancarkan serangan berskala besar. Ia memutuskan untuk memulai penyerbuan pada 29 Februari, namun sehari sebelumnya pasukan yang dipimpin oleh Nabeshima Katsushige sudah terlebih dulu memulai pertempuran.
Pada 10 Maret 1638, seluruh pasukan pemerintah telah dikonsentrasikan di Shimabara dan pada bulan April, pertempuran besar pecah antara 27.000 pemberontak dengan 125.000 pasukan pemerintah. Para pemberontak mengalami kekalahan sehingga terpaksa mundur. Dari para tawanan perang diketahui bahwa makanan dan amunisi di kastil sudah benar-benar habis. Pada 12 April 1638, pasukan dari Hizen di bawah pimpinan Kuroda Tadayuki berhasil menembus pertahanan luar Kastil Hara. Pasukan pemerintah menyerbu dan menjatuhkan banyak korban di pihak pemberontak, Amakusa Shiro sendiri gugur dalam pertempuran itu. Pemberontakan baru benar-benar ditumpas habis pada 15 April setelah melalui pertempuran yang sengit dan banyak menumpahkan darah.

Pascapemberontakan

Setelah pemberontakan ditumpas, pemerintah melakukan pembalasan yang tak kenal ampun. Sebanyak 37.000 orang pemberontak dan simpatisannya dihukum pancung secara massal, termasuk wanita, orang tua, dan anak-anak. Kepala Amakusa dibawa ke Nagasaki dan dipajang di depan umum sebagai peringatan bagi yang lain. Kastil hara dibumihanguskan bersama mayat para pemberontak di dalamnya. Agama Kristen dinyatakan terlarang di Jepang dan para penganutnya dianiaya dan diburu, mereka yang selamat hanya bisa mempraktekan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang Portugis, Spanyol dan bangsa barat lainnya diusir dari Jepang karena merekalah yang menyebarkan agama yang dinyatakan terlarang itu. Namun bangsa Belanda diberi pos dagang di Dejima sebagai balas jasa atas bantuannya selama perang. Kelak dari pulau kecil inilah Jepang membuka matanya terhadap perkembangan dunia luar setelah mengisolasi diri selama zaman Edo. Matsukura Katsuie dipersalahkan karena tindakannya yang sewenang-wenang sehingga memicu pemberontakan itu. Ia dipaksa melakukan seppuku dan ia diganti oleh Koriki Tadafusa. Klan Terazawa luput dari hukuman dan tetap berkuasa, tetapi berakhir belasan tahun kemudian karena Katataka tidak memiliki pewaris.
Setelah pemberontakan tersebut, Shimabara mengalami kerusakan besar dalam infrastuktur daerahnya dan populasinya juga menurun drastis. Untuk itu pemerintah mentransmigrasikan penduduk dari wilayah lain untuk menempati wilayah itu dan menggarap tanah-tanah yang terlantar. Agama Budha dipromosikan besar-besaran di wilayah itu. Penduduk wajib mendaftarkan diri di kuil-kuil lokal dimana dan para biksu harus memastikan keyakinan mereka. Hingga kini, kota-kota di Semenanjung Shimabara memiliki bermacam-macam dialek warisan dari leluhur para penduduknya yang adalah transmigran dari berbagai daerah di Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar