sejarah sebagai solusi menjawab keterpurukan karakter bangsa


Perkembangan sejarah di dunia pendidikan saat ini menemui titik yang agak terang, karena disekolah-sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum 2013 diharuskan ditambahkan jam sejarah menjadi 2-5 jam pelajaran. Kurikulum 2013 seolah-olah menjadi sebuah penyelamat bagi guru sejarah yang awalnya pelajaran sejarah menjadi pelajaran sampingan dan tidak memiliki mutu bagi pembangun bangsa, namun sekarng parat petinggi di depaartemen pendidikan merasakan akan pentingnya pelajaran sejarah selain pelajaran agama untuk memantapkan karakter bangsa. Karakter yang hilang karena tergerus oleh jaman atau yang kita kenal dengan globalisasi. Pendidikan sejaaraah atau pendidikaan karakter di Indonesia ditentukan oleh ciri manusia Indonesia itu sendiri.
Dampak dari penjajahan yang sudah berlangsung sangat lama telah membentuk karakter tersendiri bagi masyarakat Indonesia, yaitu karakter masyarakat terjajah. Karakter yang merupakan warisan penjajah dan dijadikan budaya bagi masyarakat Indonesia sebagaimana Mochtar Lubis mengumukakan ciri manusia Indonesia yang antara lain: 1) munafik, 2) segan dan enggan bertanggung jawab, 3) berjiwa feodal, 4) percaya tahayul, 5) artistik, 6) berwatak lemah (cengeng), 7) tidak hemat, 8) kurang gigih, serta 9) tidak terbiasa bekerja keras.
Pernyataan Mochtar Lubis ada benarnya juga, salah satunya adalah enggan bertanggung jawab dan artistik/pencitraan. Enggan bertanggung jawab apabila berbuat salah dan tidak mau bertanggung jawab. Artistik/pencitraan maksudnya sekarang untuk memilih pemimpin itu hanya dilihat dari luarnya saja, bukan karena kepribadian dan kemampuannya.
Untuk itu, pelajaran sejarah sangat membantu dalam pendidikan karakter melalui manfaat sejarah yaitu, justifikasi, inspirasi, edukasi dan rekreasi. Dengan mengenal sejarah bangsa sendiri kita dapat mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat terdahulu dan tidk akan dilakukan lagi kesalahan yang sama di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Dalam konteks memahami fenomena itu, menarik apa yang disarankan Unesco bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat (learn to do) dan (c) belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit; penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu saja diperlukan.

Daftar Isi

Deni Hardianto. “Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Terpadu”. staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Deni%2520Hardianto,%2520M.Pd./Membangun%2520Karatekter%2520Bangsa%2520Melalui%2520Pendidikan%2520Terpadu.pdf+&cd=4&hl=en&ct=clnk, diakses tanggal 25/9/2013, pukul 10.33
Lubis Mochtar (1997). Manusia Indonesia: Sebuah Pertangungjawaban. Jakarta: Idayu Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar